Bagi pelajar yang berada di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T), mendapat pendidikan di salah satu kampus favorit seperti Institut Teknologi Bandung (ITB) merupakan kesempatan yang luar biasa.
Seperti yang dirasakan oleh Henrikus Williams Ko'o dan Kwart Felish Pitornela Wainggai. Dikutip dari laman ITB, Henrikus adalah mahasiswa FMIPA ITB, sedangkan Felisha merupakan mahasiswa Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan (SAPPK).
Keduanya adalah penerima beasiswa Afirmasi Pendidikan Tinggi (ADik) yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan, Budaya, Riset, dan Teknologi (Kemendibudristek).
Dalam acara "Sosialisasi Edisi Ke-3: Program Strategis Nasional, Dukungan Daerah 3T dan Beasiswa Seleksi Mandiri ITB 2023" yang diadakan ITB, Sabtu (20/5/2023), Henrikus dan Kwart berbagi kisah perjuangannya dalam beradaptasi di masa perkuliahan.
Kesulitan Adaptasi sebagai Mahasiswa Baru
Selama masa seleksi penerimaan mahasiswa baru, Felisha yang berasal dari Papua mengaku mengalami kesulitan dalam mengakses internet. Ia bercerita dirinya baru bisa mengakses internet pada malam hari sehingga ia harus memanfaatkan waktu sebaik mungkin.
Selain itu, Felisha mengalami tantangan lainnya yakni adanya perbedaan cuaca, bahasa, budaya serta kualitas pembelajaran. Namun, kesulitan tersebut masih dapat diatasi berkat adanya pendampingan dari pihak kampus.
"Saya curhat dengan dosen wali, kemudian beliau memberi saya motivasi untuk meneruskan perjalanan di ITB. Selain itu, banyak dosen dari kelas afirmasi yang mendampingi," ungkap Felisha dikutip dari laman ITB, Kamis (15/6/2023).
Masa Transisi SMA dan Kuliah Berbeda
Felisha menyebut masa transisi dari SMA ke kuliah membuatnya sulit dalam mengatur waktu. Setelah menjadi mahasiswa, ia harus membagi waktu antara belajar, mengerjakan tugas, mengikuti kegiatan non akademik, dan bersosialisasi dengan teman barunya.
Begitu pula yang dialami oleh Henrikus yang berasal dari Kupang, Nusa Tenggara Timur. Ia mengatakan bahwa masa transisi antara SMA dan kuliah berbeda.
Beruntungnya Felisha dan Henrikus dapat menerima pendampingan yang difasilitasi oleh ITB. Berkat adanya kelas pendampingan selama empat kali dalam seminggu, mereka merasa terbantu.
Felisha dan Henrikus merasa senang karena adanya program yang mendukung pelajar dari daerah 3T. Mereka berharap akan ada banyak pelajar dari daerah 3T yang menempuh pendidikan tinggi juga sama seperti mereka.
"Tetap semangat! Kalau kalian diterima di ITB, itu tandanya kalian sudah hebat. Kalau berhasil menamatkan pendidikan di ITB, kalian harus bisa berkontribusi ke masyarakat dan lingkungan sekitar sebagai bukti kalian mendapatkan banyak pembelajaran di ITB. Mari membangun negara demi Indonesia maju dan pintar," ungkap Felisha.
Thomas Alva Edison dan Penemuan Bola Lampu: Menyinari Jalan Menuju Kemajuan Teknologi dan Industri Listrik
Thomas Alva Edison adalah seorang penemu terkenal yang dikenal karena banyak penemuan brilian yang membuat hidup kita menjadi lebih mudah dan nyaman . Salah satu penemuan terbesarnya adalah bola lampu atau lampu pijar. Sebelum penemuan Edison, manusia sudah mencoba berbagai metode untuk menerangi ruangan dan jalan-jalan, seperti lampu minyak, lampu gas, dan lilin . Namun, metode-metode ini memiliki banyak kekurangan seperti tidak efisien, berbahaya, dan mahal. Pada tahun 1879, Edison mengembangkan bola lampu yang menggunakan benang karbon sebagai filamennya . Filamen ini kemudian dipasang di dalam tabung vakum yang dapat mengurangi terjadinya oksidasi dan membantu mempertahankan keberlangsungan filamen yang membara. Penemuan bola lampu ini memberikan alternatif yang lebih aman, murah, dan efisien untuk menerangi ruangan dan jalan-jalan. Meskipun bola lampu adalah penemuan yang sangat sederhana, namun dampaknya sangat besar bagi masyarakat . Bola lampu memberikan kemudahan yang luar b...
Komentar
Posting Komentar