Satgas PPKS di berbagai perguruan tinggi telah dibentuk berdasarkan amanat Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Dari 125 PTN, sebanyak 76 PTN akademik dan 49 PTN vokasi telah membentuk satgas PPKS.
Satgas PPKS merupakan wadah korban kekerasan seksual untuk melapor dan mendapat perlindungan. Mengingat tanggung jawab tersebut, Chatarina Muliana Girsang selaku Inspektur Jenderal Kemendikbudristek mengatakan satgas PPKS tidak hanya bekerja saat ada laporan saja.
"Karena kalau tidak ada pelaporan, itu belum tentu tidak terjadi kekerasan," ujar Chatarina dalam situs Vokasi Kemdikbud, dikutip Selasa (27/6/2023).
Lanjutnya, kampus yang bebas dari kekerasan merupakan perwujudan sila ke-2 Pancasila, yakni kemanusiaan yang adil dan beradab. Kampus tanpa kekerasan juga penting untuk melindungi harkat dan martabat setiap warga kampus.
"Karenanya satgas PPKS memiliki tanggung jawab yang sangat mulia," Chatarina menambahkan.
Meski demikian, penanganan dan pencegahan tindak kekerasaan seksual di kampus tidak bisa hanya mengandalkan satgas PPKS. Chatarina berpendapat, pihak kampus perlu berkoordinasi dengan berbagai institusi lainnya.
"Menangani ini tidak bisa sendiri, tapi harus kolaborasi dengan K/L lain," pesan Chatarina.
Dirikan Pos hingga Pasang Tanda
Setiap Satgas PPKS memiliki inovasi tersendiri dalam melindungi kampus dari kekerasan seksual. Contohnya di Politeknik Negeri Manado (Polimdo), pengembangan Pos Satgas PPKS dibagi dalam 17 pos untuk menangani lima bidang penanganan kekerasan seksual. Kelimanya yakni bidang pendampingan, perlindungan, pengenaan sanksi administratif, pemulihan korban, dan administrasi.
Sosialisasi dan simulasi pos telah dilakukan sejak September 2022. Civitas akademika, yang terdiri dari perwakilan dosen, karyawan, mahasiswa, poliklinik, tenaga kependidikan, satuan pengamanan, hingga tenaga kebersihan terlibat dalam sosialisasi dan simulasi Pos Satgas PPKS Polimdo.
Sementara itu, Ketua Satgas PPKS Politeknik Negeri Jember (Polije), Muksin mengatakan bahwa pencegahan kekerasaan seksual di Polije mengutamakan kepentingan terbaik bagi korban. Praktik pencegahan kekerasan seksual dilakukan melalui pembelajaran, penguatan tata kelola, serta penguatan budaya komunitas mahasiswa, pendidik, dan tenaga kependidikan.
Melalui pembelajaran, pokok bahasan PPKS dimasukkan ke dalam mata kuliah yang relevan. Para mahasiswa baru juga diberikan sosialisasi yang dilakukan saat masa pengenalan kampus.
"Seminar pencegahan dan penanganan kekerasan seksual juga kami laksanakan secara periodik. Mahasiswa juga wajib mengakses modul mengenai PPKS," kata Muksin.
Lebih lanjut, pihak Polije dapat membantu korban dalam tahap pemulihan dengan memfasilitasi akses ke dokter atau tenaga kesehatan, konselor, psikolog, hingga tokoh masyarakat dan pemuka agama, ataupun pendamping lain sesuai kebutuhan, termasuk kebutuhan korban penyandang disabilitas.
Komentar
Posting Komentar