Harta karun Lombok menjadi salah satu dari 478 harta rampasan masa penjajahan Belanda yang akan dikembalikan ke Indonesia dan Sri Lanka di Museum Etnologi Nasional, Leiden pada Senin, 10 Juli 2023.
Harta karun Lombok adalah sebutan bagi harta jarahan pasukan Belanda di masa penjajahan saat menjatuhkan istana kerajaan di Lombok pada 1894. Sebelumnya, orang asli setempat meminta bantuan Belanda, yang kemudian menggunakan permintaan ini untuk meluaskan penjajahanya, seperti tertera dalam keterangan objek Lombok Treasure di museum Rijksmuseum, Belanda.
Harta karun Lombok yang dijarah pasukan Belanda meliputi 230 kg emas, 7.000 kg perak, dan batu mulia yang tidak terhitung jumlahnya. Rijksmuseum menampilkan koin dan gelang, salah satu harta karun Lombok tersebut, sebagai saksi bisu kejahatan perang.
Menurut Rijksmuseum, sebagian besar harta karun Lombok sudah sempat dikembalikan ke Indonesia pada 1977. Sementara itu, ada 334 objek harta karun Lombok (Lombok treasure atau Lombokschat) yang akan dikembalikan pada 10 Juli 2023 setelah permintaan Indonesia, seperti dijelaskan dalam laman resmi Pemerintah Belanda.
Harta Karun Lombok: Harta Rampasan Belanda dari Indonesia
1. Pendongkrak Kebanggaan Bangsa Penjajah
Harta karun Lombok merupakan harta rampasan yang disambut museum di Belanda setelah konfrontasi militer di Lombok, yang dinamai "ekspedisi Lombok" 1894, dikutip dari Cultural Diplomacy and the Heritage of Empire: Negotiating Post-Colonial Returns oleh Cyntia Scott.
Konfrontasi militer ini juga termasuk dari Perang Aceh (1874-1914), Bali (1906-1908), dan Sulawesi Selatan (1905-1906).
Dari konfrontasi militer, terjadi ekspansi penjajahan yang memungkinkan Belanda menambah koleksi museum negaranya dari harta jarahan sebagai pendongkrak kebanggaan bangsa penjajah.
2. Sebagian Dijual untuk Biaya Perang
Wahyu Ernawati dari Museum Nasional Indonesia mengatakan, harta jarahan dari kerajaan itu mencakup 230 kg emas, 7.000 kg perak, dan berbagai perhiasan serta batu mulia. Adapun objek jarahan yang dinilai biasa saja, duplikat, atau bagian dari sepasang objek dijual demi menutupi biaya perang.
3. Tidak Langsung Masuk Rijksmuseum
Menurut penulis sejarah Ewald Vanvught, harta karun Lombok itu lalu dikirim ke Batavian Society setelah dijarah pasukan Belanda dari penguasa setempat asal Bali. Batavian Society adalah orang Belanda yang belajar atau bertugas di Batavia (kini Jakarta). Batavian Society juga memiliki museum. Satu tahun setelahnya, sejumlah besar harta karun Lombok dibawa ke Amsterdam.
4. Dikunjungi 23.000 Pengunjung Museum
Harta jarahan dari Lombok ini dipajang di Rijksmuseum sebagai pameran perayaan pada 1897-1898 setelah dikirim ke Amsterdam. Dilaporkan, 23.000 pengunjung melihat harta karun Lombok, termasuk Ratu Belanda saat itu, Wilhelmina.
5. Dipagari Pagar Besi
Harta karun Lombok semula dipajang dalam kotak kaca pajangan, dengan pembatas berupa pagar besi. Harta jarahan ini dipajang di Ruang 157, yang khusus menampilkan koleksi emas dan perak. Sejumlah harta jarahan yang dipajang di Rijksmuseum juga termasuk permata hingga keris emas Banjarmasin.
6. Sempat Mau Dijual Lagi
Harta jarahan koleksi Rijksmuseum ini semula ingin dijual lagi oleh pemerintah Belanda. Namun, menurut Wahyu Ernawati, muncul penolakan kuat dari pihak kementerian dan direktur museum.
Sejumlah pihak yang saat itu menolak antara lain Kepala Departemen Seni dan Sains Victor de Stuers, Ministry of Inland Affairs dan JDE Schmelts yang kelak jadi Direktur Museum Etnologi Nasional Belanda di Leiden. Direktur Rijksmuseum di Amsterdam, BWF van Riemsdijk juga menolak.
Alhasil, nasib harta karun Lombok saat itu berujung pada pemisahan koleksi Rijksmuseum di Amsterdam, museum of Batavian Society, dan museum-museum Belanda lainnya.
7. Pengembalian Harta Jarahan untuk Diplomasi
Semula, pihak Kementerian Luar Negeri Belanda menilai pengembalian harta jarahan tidak penting dilakukan. Kemudian, Menlu Belanda 1948-1952 Dirk Uipko Stikker, berubah pikiran dan menyebut kasus harta jarahan dari Indonesia ini "sedikit berbeda" untuk menarik perasaan orang Indonesia.
Langkah Stikker dinilai lazim dalam keilmuan orientalisme. Sebab, pejabat dan pegawai Belanda zaman penjajahan lazim menilai orang Indonesia bersifat irasional, percaya hal-hal mistis atau tidak masuk logika, dan sentimental. Di sisi lain, menurut sejarawan Margaret J Weiner menilai pejabat Belanda juga tahu objek seremoni Hindia Belanda punya kekuatan magis.
Langkah pengembalian ini juga meneruskan pengembalian beberapa barang berharga sebelumnya. Dari situ, sejumlah harta jarahan mulai dikembalikan.
Komentar
Posting Komentar